BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat positivisme lahir pada abad
ke-19. Titik tolak pemikirannya apa yang telah diketahui adalah yang factual
dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala
gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif.
Jadi setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur dapat
memberikan semacamasumsi (proyeksi) ke masa depan.
Beberapa tokoh dalam positivisme
yaitu August Comte (1798-1857), John S.Mill (1806-1873) dan Herbert Spencer
(1820-1903).
Dalam menyusun makalah ini akan
lebih rinci hanya membahas tentang tokoh August Comte, tentang biografi, dan
pemikiran-pemikiran belaiau.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Biografi Auguste Comte
2. Pengertian Positivisme
3. Perkembangan masyarakat terhadap
positivisme
4. Pluralitas ekstrim
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Auguste Comte
Auguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19
Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga
berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan
loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut
merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan politik pada
masanya.
Comte sebagai mahasiswa di Ecole Politechnique tidak
menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang memberikan dukungannya
kepada Napoleon dipecat, Comte sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang
keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan bahwa Comte memiliki
prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang
profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun bimbingan
singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat.
Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannyapun dasarnya bukanlah
yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada
saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin
menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte
tidak menolaknya.
Tiada gading yang tak retak, istilah yang
menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan juga
antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi
intelektual dari keduanya. Sejak saat itulah Comte mulai menjalani
kehidupan intelektualnya sendiri, menjadi seorang profesional lagi dan Comte
dalam hal yang satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual
yang termarjinalkan dikalangan intelektual Perancis pada zamannya.
2.
Pengertian Positivisme
Positivisme berasal dari
kata “positif”. “Kata positif” disini sama artinya dengan factual, yaitu apa
yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh
melebihi fakta-fakta. Dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh
istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian filsafat pun harus meneladani
contoh itu. Oleh karena itu pulalah, positivism menolak cabang filsafat
metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”,
bagi positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan, termasuk
juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara
fakta-fakta. Tugas khusus filsafat adalah mengoodinasikan ilmu-ilmu pengetahuan
yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa
yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman.
Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah
atau subjetif sebagai sumber pengetahuan. Positivism tidak menerima sumber
pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanyalah mengandalkan
fakta-fakta belaka. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89)
3. Perkembangan Masyarakat
Kehidupan terus bergulir Comte mulai melalui kehidupannya dengan
menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat.
Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mecukupi kebutuhannya dan mengenai
karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami fluktuasi dalam penyelesainnya
dikarenakan intensitas Comte dalam pengerjaannya berkurang drastis. Comte dalam
kegelisahannya yang baru mencapai titik rawan makin merasa tertekan dan hal
tersebut menjadikan psikologisnya terganggu, dengan sifat dasarnya adalah ,
seorang pemberontak akibatnya Comte mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan
itu menambah mengembangnya sikap pemberang yang telah ada, tidak jarang pula
perdebatan yang dimulai Comte mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian. Kegilaan atau kerajingan
yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya
ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Caroline Massin,
seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte ditahun 1825. Caroline
dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara
material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena
tidak ada perubahan perlakuan dari Comte untuk Caroline dan hal tersebut
mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte. Comte kembali dalam
kegilaannya lagi dan sengsara.
Comte menganggap pernikahannya dengan Caroline merupakan kesalahan
terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang mulai memiliki kestabilan emosi
ditahun 1830 tulisannya mengenai “Filsafat Positiv” (Cours de
Philosophie Positiv) terbit sebagai jilid pertama, terbitan jilid yang
lainnya bertebaran hingga tahun 1842.
Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan
Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa
kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut
menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh
lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas,
mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar
pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri
pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu: 1. Membenarkan
dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan
mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3.
Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum
itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna,
tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan
kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem
klasifikasinya.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat
obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh
emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti.
Kedua, ilmu pengetahuan hanya
berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian
alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya
pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga
dengan “hukum tigastadia”. Hukum tiga tahap ini menceritakan
perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari
observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.
1) Tahap teologis dimana studi
kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi
alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau
dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan
keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada
politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur
kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya
dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan
godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan
yang menetap ditiap sawah.
2) Tahap metafisika atau nama
lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan
ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada
tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan
jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. “Ini hari sialku,
memang sudah takdir !”, “penyakit AIDS adalah penyakit kutukan!”, dan lain
sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari.
3) Tahap positiv, adalah tahapan yang
terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam
diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau,
diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan
yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan
manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan
ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari
kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan
sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu
mengeluarkan asap.
4. Pluralitas Ekstrim
Follow up atas radikalisasi Comte, antara progresivitas untuk
menciptakan perubahan sosial dengan penjagaan atas keteraturan sosial menjadi
bahan kontemplasi dan observasinya. Comte sangat berjuang keras dengan
idealismenya (positivisme) agar tercapai dan dapat mengatasi keguncangan
akibat kecemburuannya, harapan dan kenyataan yang mungkin tidak akan sama
nantinya yang akan terjadi pada manusia.
Pada saat tertentu Comte ulas balik kembali untuk mencari
sumbangan sosial para intelektual sebelum Comte, dan terdapati oleh Comte
tentang konsensus intelektual. Konsensus intelektual selalu menjadi dasar bagi
tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. Dan nilai tersebut, diadopsi dari
khasnah masyarakat teologis oleh Comte. Comte melihat agama memiliki
ikatan emosional yang tinggi bersandarkan sistem kepercayaan yang satu dan itu
mendorong kebersamaan umat manusia menjalankan ritual keagamaan dengan penuh
disiplin, menuju hal yang bernuansa transendental dengan mengutamakan
solidaritas sosial dan konsensus.
Menurut Comte hal ini tepat bila akan digunakan sebagai satu
formulasi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi,
perubahan secara cepat atau revolusi sosial. Namun Comte, tidaklah dapat
mengandalkan agama yang konvensional apabila ingin mengadakan sinkronisasi dan
konsisten dalam pengembangan ilmu pengetahuannya, positivisme.
Rutinitas Comte yang sangat ajek ternyata tidak mengaburkan Comte
dari sense of romance-nya, Comte bertemu seorang perempuan yang bernama
Clotilde de Vaux di tahun 1844. Walaupun, Comte sangat mencintainya hingga
akhir hayat Clotilde tidak pernah menerima cinta Comte karena sudah memiliki
suami, walau suaminya jauh dari Clotilde. Comte hanya sempat menjalankan
hubungan yang platonis, 1845 Comte menyampaikan hasratnya dan hal tersebut
tahun yang fantantis bagi Comte. Clotilde de Vaux meninggal pada tahun 1846
karena penyakit yang menyebabkan tipis harapan sembuhnya dan Clotilde masih
terpisah dengan suaminya.
Pada saat itulah mungkin Comte mulai memikirkan perihal keluarga,
keluarga dianggap kesatuan organis yang dapat menyusun pemikiran-pemikiran
sedari awal bagi manusia-manusia baru (pasangan suami-istri). Internalisasi
nilai-nilai baru, tentunya yang positif. Comte yang percaya bahwa perubahan
tidaklah akan begitu tiba-tiba datangnya dalam masyarakat. Comtepun percaya
akan humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan social
yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat
yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan social,
eskalasi keakraban yang meninggi akan menyatukan dan mempererat keluarga yang
satu dengan keluarga yang lain. Hal
tersebut membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma, terarah atas
ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam
perspektif keluarga bentuk mikrokosmik. Dalam diri manusia memiliki
kecendrungan terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma
(sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama). Kecenderungan
pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat.
Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama
sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan
yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi
keluarga terhadap keluarga lainnya.
Rupa-rupanya Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber
keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural pada keluarga (kepatuhan) yang
disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja
sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan
dalam mencapai suatu kebutuhan.
Seiring dengan kontemplasi dan observasi Comte dalam mencari jalan
tengah serta persentuhannya dengan romantisme platonis, perang terus menerus
dan individualitas mengembang bagai jamur di musim hujan pada zaman
post-revolusi Perancis semakin menentukan arah pemikiran Comte yang empirik
itu.
Pendobrakan besar-besaran dilakukan Comte terhadap realitas
sosial yang terus mencoba menghegemoni umat manusia pada zamannya melalui
institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia
(khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama) mendapatkan kritik keras karena
menjajakan doktrin, dogma dan melakukan pembodohan yang berakibat, yang
kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.
Dalam pada itu Comte yang telah meyakini ilmu pengetahuan yang
ditebarkannya mencoba mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis,
dimana konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas
sehari-hari umat manusia. Begitupun kesatuan organis terkecil di masyarakat,
amat mempengaruhi Comte sebagai institusi yang dapat meradiasi
pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam pembentukan sosial orde pada
masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu
sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia, Comte menciptakan agama baru
yang sesuai dengan idealismenya.
Idealisasinya berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan
lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, dilengkapi
oleh Comte. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas, dimaksudkan untuk
memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya
dalam sejarah perkembangan manusia. Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah
yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi
individu maupun dalam masyarakat. Kemanusianlah yang kudus dan sakral, bukanlah
Allah karena banyak penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak
dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat
propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.
Comte menciptakan agama tersebut, terlihat seakan mengalami
romantisisme terhadap pengalamannya yang lalu bersama Clotilde de Vaux dan
menghasilkan hubungan yang berbuih saja dan realitas sosial yang juga turut
membentuknya. Dari sini pada saat Comte, membentuk ceremonial keagamaannya
dengan mengadakan penyembahan terhadap diri perempuan, Comte dikatakan oleh
para intelektual lainnya kehilangan konsistensi terhadap ilmu pengetahuan yang
dikembangkannya karena pemikirannya sudah terbungkus dengan perasaan. Comte
dikatakan tidak ilmiah.
Namun permasalahan pemujaan Comte, terhadap perempuan diadopsi
dari rentang sejarah ceritra bunda Maria, bukan karena adanya penolakan
perasaan cintanya dari Clotilde de Vaux. Dalam hal ini Comte dapat juga
dikatakan mengadakan sublimasi terhadap obsesinya, yaitu kebebasan berpikirnya
atas idealismenya agar dapat menyiasati secara strategis. Menciptakan
masyarakat positivis di masa depan, dalam kontekstual hubungan seks antara pria
dan perempuan tidak perlu ada lagi dan “kelahiran manusia-manusia baru
akan keluar dengan sendirinya dari kaum perempuan”. Di era sekarang
hal tersebut merupakan pemandangan umum, perkembangan reproduksi melalui
tekhnologi kedokteran telah berhasil mengaktualisasikan ide tersebut.
Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya yang sepakat dengan
pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai
mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku
kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal
to Conservatives.
Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya
dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga
akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris pada tanggal 5
September 1857.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Auguste Comte adalah, manusia yang berjalan di
tengah-tengah antara ideologi yang berkembang ( progressiv vs
konservatif ), berada pada ruang abu-abu ( keilmiahan ilmu pengetahuan
). Comte memberikan sumbangsih cukup besar untuk manusia walaupun, ilmu
pengetahuan yang dibangun merupakan ide generatif dan ide produktifnya. Comte
turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai anak kita
menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai
manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Abdul. 2008. Filsafat
Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia
Achmadi, Asmoro. 2007. Pengantar
Filsafat. Ed 1-7. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syadali, Ahmad, MA. 2004. Filsafat
Umum. Cet 2. Bandung: Pustaka Setia
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG.......................................................................................
1
B. RUMUSAN
MASALAH...................................................................................
1
BAB
II PEMBAHASAN
1.
Biografi Auguste Comte.....................................................................................
2
2.
Pengertian Positivisme........................................................................................
2
3.
Perkembangan Masyarakat...............................................................................
3
4.
Pluralitas Ekstrim...............................................................................................
5
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..........................................................................................................
9
DAFTAR PUSTAKA
RESUME
FILSAFAT UMUM
GUSMAWAN
STIKES
BIGES
2012